Pelecehan Seksual (Implikasi relasi kuasa yang timpang)
Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai tindakan pelecehan seksual marak dibahas oleh khalayak pengguna sosial media. Tagar-tagar pengutukan terhadap pelecehan seksual memenuhi beranda maupun status-status di sosial media. Hal ini bukan sesuatu yang buruk, pasalnya pendiskusian mengenai hal tersebut membuat beberapa pihak mulai sadar akan seberapa mengerikannya realitas sosial hari ini.
Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pelecehan seksual merupakan tindakan yang bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun melalui kontak non-fisik. Tindakan tersebut dapat membuat seseorang (korban) merasa tidak nyaman, menderita, tersinggung, merasa direndahkan, sehingga berakibat pada gangguan kesehatan fisik maupun mental. (Hendrik Khoirul Muhid, 2022)
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja. Di pinggir jalan, jagat sosial-media, bahkan dapat terjadi di lingkup pendidikan yang notabenenya dikenal sebagai lingkungan ilmiah.
Komnas perempuan mencatat bahwa selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkingan pendidikan paling banyak terjadi di perguran tinggi yakni 35 kasus, diikuti Pesantren dengan 16 kasus, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan 15 kasus.
Dilansir dari situs kemdikbud "Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal."
Adanya relasi kuasa, membuat pelaku pelecehan merasa punya kekuatan untuk melampiskan berahinya pada korban. Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan terlapor menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.
Antara pelaku dan korban. Seringkali pelecehan terjadi akibat adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban. Semisal dalam lingkungan pendidikan, relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswanya, maupun relasi kuasa antara senior dengan juniornya.
Foucault mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. Melalui pengetahuan, seseorang dapat menguasai seseorang yang lain. Selain daripada itu, dalam lingkup pendidikan, otoritas seorang tenaga pendidik untuk meluluskan peserta-didiknya merupakan satu bentuk relasi kuasa. Pendidik menguasai peserta-didik.
Relasi kuasa ini memiliki potensi terjadinya 'tindakan kesewenang-wenangan' antara si penguasa dengan si yang-dikuasai. Dari relasi kuasa itu, si yang-dikuasai memiliki ketergantungan terhadap si penguasa. Dari ketergantungan tersebut, si penguasa merasa punya otoritas mutlak terhadap si yang-dikuasai. Alhasil, si penguasa dapat menciptakan keadaan dimana si yang-dikuasai mesti patuh dan tunduk pada hukum tertentu.
Walau tidak semua tindakan pelecehan seksual terjadi karena relasi kuasa. Namun banyak kasus pelecehan terjadi, tidak terlepas dari adanya relasi kuasa tersebut. Semisal dosen melecehkan mahasiswanya atau seorang senior melecehkan juniornya, atau si pintar melecehkan si bodoh. Hal tersebut ialah implikasi relasi kuasa antara pelaku (si penguasa) dengan korban (si yang-dikuasai).
Penulis: Baso Pattola Ade
Posting Komentar
1 Komentar
👍🏻✨
BalasHapus