Kutipan Sunardian Wirodono - Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia
Tanpa kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki kemampuan untuk membius, membohongi, dan melarikan masyarakat pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya. Televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur, jauh dibanding media-media lainnya. Apalagi, jika media televisi tersebut dibangun dan ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yang jelas, serta tanpa lembaga kontrol yang memadai.
--Sunardian Wirodono, Halaman: IX
Pada sejarah yang tebih tua seperti koran, majalah, dan buku bacaan, pertumbuhan media cetak Indonesia disemangati oleh spirit pencerahan (enlightmen), sebagai bagian dari perjuangan bangsa. Oleh karena itu, para pelaku di bidang ini, pada mulanya, lebih didasari oleh komitmen kejuangan di bidang-bidang strategis, seperti pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, meski mengalami berbagai pergeseran, perilaku media ini tidak bisa tidak berkecenderungan dimulai dari gagasan-gagasan intelektualitas. Pada berbagai media massa cetak yang berkualitas dan berwibawa, hal tersebut masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 2
Faktor-faktor lain yang dianggap komersial adalah aspek sensasi. Sensasi ini bahkan bisa menjadi faktor utama karena memberikan efek kejut bagi perhatian masyarakat. Dan karena itu, logikanya, jangan mencari kedalaman pada sensasi karena waktu akan lewat begutu rupa. Dan masyarakat sering dianggap tidak sabar untuk itu.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 33
Meski mengaku sebagar charity show, konsep program ini bisa dituduh mengelsploitasi penderitaan atau kemiskinan manusia, dengan menjadikan kedua hal tersebut sebagai obyek tontonan. Beberapa program tayangan,seperti Uang Kaget, sangat jelas watak eksploitatifnya. Lepas dari uang yang didapatkan oleh obyek, si obyek harus menuruti perintah pemberi uang terlebih dahulu.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 45
Seks ibarat mantra yang manjur untuk itu (untuk menghidup jam mati - dari pukul 22-04.00) Baik lewat talk-show, laporan khusus, atau pun sinetron komedi, seks menjadi tema materi. Namun seks yang bagaimana? Dalam sinetron, tampak bagaimana bias gender sangat kuat. Materi-materi leluconnya lebih menunjukkan pelecehan seksual dari sudut lelaki atas perempuan. Praktik male-chauvinism sangat kuat dilakukan. Apalagi, setting sosial yang ditembaknya adalah masyarakat kelas bawah. Seolah-olah, memang begitulah masyarakat kita. Sementara untuk setting sosial yang lain, kelompok menengah atas, tidak ada yang tertarik menggarap tema seks sebagai sinetron.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 51-52
Pola konsumsi masyarakat bisa dipengaruhi, didorong, dan diubah. Tidak dalam rangka memberikan pilihan-pilihan, melainkan menciptakan berbagai ketergantungan dan ketergandrungan. Masyarakat kemudian menjadi lebih menghargai pada semua yang bemilai kebaruan, sekalipun tidak pernah mempertanyakan apa makna dan substansi kehadirannya. Pencitraan ini menjadi penting karena eksistensi manusia dipandang dari nilai-nilai lahiriah atau fisikal.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 61
Pemimpin bangsa kita mengalami degradasi menjadi penguasa dan pimpinan partai politik semata. Tak heran, apabila media televisi yang memiliki nilai strategis pun dilihat dari sisi politis dan ekonomisnya semata. Ketidakadilan dalam penetasi inforinasi, dengan berbagai implikasinya, tidak pemah menjadi wacana atau pemikiran serius. Padahal, bisa berakib atfatal. Dan itulah yang kemudian terjadi.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 60-61
Kemudahan dan kemurahan dari pemerintah ini dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh televisi Jakarta. Mereka tidak mempedulikan dampak polusi yang diakibatkan. Toh mereka hanya tahu, yang bemama polusi adalah udara kotor, yang ditimbulkan oleh pabrik-pabrik semacam pabrik semen, pabrik biji besi, dan sejenisnya. Mereka tidak pernah tahu bahwa media televisi adalah juga pabrik informasi dan hiburan, yang polusinya bisa lebih jahat, karena justru ketidakkentaraannya. Seolah, penyakit konsumerisme, gaya hidup, hedonisme, pragmatisme, kriminalisme, kekerasan, bisa lahir dengan sendirinya tanpa sebab-musabab. Tentu saja, kita tidak sedang mengatakan bahwa perubahan sikap dan sifat yang terjadi di masyarakat karena pengaruh televisi semata. Namun kenyataan membuktikan bahwa media televisi Indonesia memiliki daya penetasi yang terbesar, dibandingkan media-media massa lainnya.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 66
Seluruh isi media sebagai realitas telah dikonstruksi. Media televisi pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah cerita baru. Dan keluarlah kemudian jargon, siapa yang menguasai media maka menguasai dunia.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 104
Proses konstruksi citra ini berlangsung melalui suatu interaksi sosial yang dialektis. Ada tiga jenis realitas yang dimunculkan media, yakni realitas subyektif (subjective reality), realitas simbolik (symbolic reality), dan realitas obyektif (objective reality) . Namun, realitas simbolik yang hampir menguasai model citraan adalah hal yang paling dominan dan memiliki kekuatan media yang terbesar. Iklan-iklan yang ditayangkan di media memanfaatkan kekuatan ini.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 105
Peraturan dan pengawasan justru diperlukan untuk melindungi hak-hak publik karena efek mediasi yang luar biasa atas media massa tersebut. Regulasi bukan membatasi isi, melainkan menata sistem supaya ada keadilan. Demokrasi memberi tempat yang luas pada kebebasan dan mekanisme pasar agar muncul yang terbaik. Namun, demokrasi juga menjunjung tinggi regulasi untuk menjamin terjadinya keadilan. Tanpa regulasi, keadilan akan mudah dimanipulasi oleh kelompok kekuatan tertentu yang mempunyai kekuasaan dan kapital.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 113
Muncul acara reality show; yang pada dasarnya bukan realitas sosial masyarakat. Realitas sosial masyarakat semakin disamarkan dalam realitas-realitas gadungan, yang bersifat eskapistik dan menipu.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 115
Gambar-gambar dalam media televisi-terdiri atas potongan-potongan gambar yang bergerak dan berubah cepat, zoom-out dan zoom-in yang intensif, dan kilas lampu yang sangat cepat di televisi, di samping sistem kemunculan gambar yang tidak kontinu dan linier - menjadikan pola kerja otak anak-anak akan dielsploitasi begini rupa. Dunia virtual televisi, dengan loncatan waktunya, juga akan mengganggu kemampuan konsentrasi anak.
--Sunardian Wirodono, Halaman: 142
Judul : Matikan TV-mu!: Teror Media Televisi di Indonesia
Penulis : Sunardian Wirodono
Penerbit : Resist Book
Halaman (isi) : 164
ISBN : 979-9793-72370-8
Sebelum Internet berjaya di Indonesia, belasan tahun yang lalu, Televisi pernah menjadi media paling digandrungi oleh masyrakat Indonesia. Lebih diminati dibandingkan media lain seperti koran maupun radio.
Berbeda dengan kemunculan budaya membaca buku di Indonesia, jika budaya membaca buku lahir karena tuntutan revolusi, keinginan masyarakat yang ingin merdeka dari penjajahan asing, budaya nonton televisi di Indonesia muncul karena ambisi kekuasaan orde lama.
Televisi sampai saat ini masih diminati walau tak seperti belasan tahun silam. Meskipun jarang ditonton, pengaruhnya dalam hal mengkonstruk pemikiran masih terasa sampai sekarang.
Contohnya ialah xenophobia terhadap komunisme. Hanya melalui tontonan film yang dibuat oleh orde baru, diputar setiap tahunnya di siaran televisi nasional, masyarakat dapat mempercayai bahwa komunisme itu berbahaya.
"Tanpa kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis, televisi memiliki kemampuan untuk membius, membohongi, dan melarikan masyarakat pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya. Televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur, jauh dibanding media-media lainnya. Apalagi, jika media televisi tersebut dibangun dan ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yang jelas, serta tanpa lembaga kontrol yang memadai." (Sunardian Wirodono, Matikan TV-mu, 2006)
Posting Komentar
0 Komentar