Kutipan Okky Madasari - Entrok

Di sini hanya berisi kutipan. Secuil dari seluruh isi buku. Jangan mudah silau oleh kutipan. Selami bukunya dan pahami sendiri makna tiap kalimatnya. Semoga kutipan dalam buku ini bisa memotivasi pembaca untuk membaca sendiri isi buku yang disajikan di sini. 
Selamat membaca.
☺️☺️☺️

Sumarni ingin juga memakai entrok seperti Tinah. Namun entrok bagi keluarga Sumarni, bahkan bagi orang-orang kecil macam Sumarni, entrok sangatlah mewah. Demi membeli entrok, Sumarni ikut kerja dengan mboknya di los Nyai Dimah. Ia bersama mboknya kerja mengupas singkong untuk diolah menjadi gaplek. Namun upah dari kerja tersebut, tidak dibayar menggunakan uang, melainkan diupah bahan makanan saja. Padahal bahan makanan tidak bisa digunakan untuk membeli sebuah entrok. Sumarni dan mboknya, sama dengan perempuan-perempuan lain, kerja mereka hanya diupah menggunakan bahan makanan. Berbeda dengan upah pekerja laki-laki yang diupah menggunakan uang. Dari perspektif gender, ketidaksetaraan ini adalah biang terjadinya ketimpangan sosial.

Sumarni tak sabar memilili entrok. Kerja mengupas singkong, tidak akan membuat dirinya menghasilkan uang. Kepada Teja, lelaki yang ia temui di depan pasar sebagai kuli angkut, Sumarni bertutur bahwa ia ingin kerja juga seperti Teja menjadi kuli. Teja sempat mengingatkan bahwa kerja kuli itu berat, hanya laki-laki yang mampu, perempuan tidak akan mampu. Sumarni membantah, bahwa ia kuat dan mampu kerja kuli. Kepada mboknya pun, Sumarni mendapat ceramah. Bahwa kerjaan itu sudah ada pembagiannya, laki-laki menjadi kuli, perempuan yah ngupas singkong.

Seorang guru agama memberitahu pada Rahayu bahwa Ibunya itu sirik. Pendosa. Pemuja leluhur. Seyogyanya guru agama mengajari anak tentang toleransi, tentang menerima perbedaan, tentang menghargai agama lain. Sumarni yang telah menjadi pemuja leluhur yakni Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa semenjak ia lahir, dibuat sedih oleh anaknya sendiri. Rahayu membenci Ibunya, sebab guru agama si pengujar kebencian.

Sumarni, mengalami berbagai teror akibat kerjanya sebagai rentenir (orang yang memperdagangkan uang). Mulai teror dari tentara, warga, pak RT, sampai teror dari pak Lurah. Dari tiga partai, yakni partai merah, hijau dan kuning, mereka memihak ke partai kuning, katanya mereka adalah orang pemerintah. Pak Lurah meminta uang pada Sumarni sebesar 200.000. Pak Lurah menuntut Sumarni memberikan uang tersebut untuk memenangkan partai mereka agar menang di pemilu. Sumarni hanya punya uang 25.000 di rumahnya. Uangnya yang lain beredar di warga. Melipatgandakannya di warga. Akibat tuntutan pak Lurah tersebut, Sumarni terpaksa berkeliling menagih uang tersebut yang belum jatuh tempo. Yu Sri bertengkar hebat dengan Sumarni. Yu Sri mencaci maki Sumarni, menuduhnya sebagai lintah darat yang menghisap. Kata Yu Sri bahwa waktu membayarnya belum jatuh tempo. Apalah daya Sumarni, ia sebenarnya tak ingin menagih uang yang belum jatuh tempo, namun tuntutan dari Lurah dan pegawai negara lainnya, membuatnya harus melakukan hal tersebut.

"Ealah... Nduk, sekolah kok malah membuatmu tidak menjadi manusia." Sumarni pada Rahayu.
--125

"Nduk... setiap perbuatan ada karmanya. Kamu ini sekolah tinggi-tinggi kok malah jadi bodoh..." Sumarni pada Rahayu.
--165

Sumarni selalu dirampok dengan cara yang elegan. Oleh lurah, RT, polisi, tentara dan lain sebagainya. Perampokan memang tak mengenal wajah. Seragam-seragam itu membuat mereka punya kuasa atas orang-orang yang tidak berseragam. Seragam itu membuat manusia congkak.

-----------------------------------------

Dinamika kehidupan antara seorang ibu dengan anak perempuan satu-satunya. Sumarni dan Rahayu bertentangan dari segi pandangan tentang Tuhan. Sumarni pemuja leluhur, sedangkan Rahayu sendiri adalah pemuja satu Tuhan.

Sumarni dengan sekuat tenaga, dengan daya upaya, ia mengubah nasib kehidupannya sendiri. Semula, ia hidup serba kekurangan. Namun, atas upaya yang ia lakukan, ia bisa mencicipi banyak hal. Bermula dari bakulan barang-barang, ia mengumpulkan uang, kemudian dari uang uang terkumpul itu, ia bakulan uang.

Sumarni dituduh macam-macam. Dituduh memelihara tuyul, melakukan pesugihan, dan banyak hal lainnya. Paradigma masyarakat, menuduh Sumarni sebagai orang yang sesat. Ia dituduh sebagai perampok. Padahal, semua yang ia lakukan, berkat kerja kerasnya sendiri.

Pekerja-pekerja yang berseragam. Dengan pendidikan mereka yang bisa dibilang tinggi. Mereka manfaatkan semua itu untuk menjarah habis-habisan sumarni. Memeras Sumarni menggunakan otoritas yang mereka miliki. Perampokan memang tak berupa. Sangat susah untuk dikenali.

Buku ini sebaiknya tidak dibaca oleh orang-orang yang fanatik pada kerjaan berseragam, agar pemujaannya pada seragam tidak terciderai. Sebenarnya bagus untuk menyadarkan, tapi saya pesimis pembaca seperti mereka tidak dapat memetik pelajaran berharga dari buku ini.

Posting Komentar

0 Komentar