Kutipan Toto Rahardjo - Sekolah Biasa Saja

Di sini hanya berisi kutipan. Secuil dari seluruh isi buku. Jangan mudah silau oleh kutipan. Selami bukunya dan pahami sendiri makna tiap kalimatnya. Semoga kutipan dalam buku ini bisa memotivasi pembaca untuk membaca sendiri isi buku yang disajikan di sini. 
Selamat membaca.
☺️☺️☺️

Scola, Skhole, Scolae atau Schola, keempat-empatnya memiliki arti yang sama, yaitu waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.
--Toto Rahardjo, Halaman: 9

Perkembangan kehidupan yang kian beragam dan mengambil waktu orang tua, maka si ayah dan si ibu merasa tidak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang kepada anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya kepada seseorang yang dianggap bijaksana di suatu tempat tertentu.
--Toto Rahardjo, Halaman: 9

Lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu.
--Toto Rahardjo, Halaman: 9

Kini di dunia pendidikan tidak bisa lagi diajarkan toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan. Bagaimana mau toleransi, saling menghargai dan saling membutuhkan karena di suatu sekolah siswanya homogen. Kaya, kaya semua. Miskin, miskin semuanya. Di suatu sekolah hanya ada satu agama tertentu.
--Toto Rahardjo, Halaman: 15

Kalau anda mendirikan sekolah untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran berarti anda salah alamat atau tersesat, karena mendirikan sekolah lebih dekat dengan mengabdi kemanusiaan yang posisinya terletak di pelosok kesunyian.
--Toto Rahardjo, Halaman: 12

Dunia pendidikan kita mengajarkan ilusi menang-kalah. Padahal, justru kita perlu lebih banyak menumbuhkan semangat kerja-sama, daripada saling berlomba atau berkompetisi untuk kemenangan semu yang tak bermakna.
--Toto Rahardjo, Halaman: 23

Prestasi menurut ensiklopedia bebas, berasal dari bahasa Belanda yang artinya hasil dari usaha. Prestasi diperoleh dari usaha yang telah dikerjakan.
--Toto Rahardjo, Halaman: 27

Sejak anak-dini, anak telah diajar untuk jahat kepada sesamanya di dalam sekolah mereka diajar untuk saling mengungguli (kompetisi).
--Toto Rahardjo, Halaman: 28

Pada era Soekarno terjadi kemajuan sumber daya manusia, yang mana dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik Indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Selain itu juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang dtang bersekolah di Indonesia.
--Toto Rahardjo, Halaman: 36

Bapak pendidikan secara realistis seharusnya diberikan kepada Daendels sebab dialah penguasa di nusantara pertama yang menciptakan sistem sekolah rakyat. Pada juni 1810, di cirebon Daendels melihat bahwa rakyat sama sekali tak dapat pendidikan aksara, tak mendapat pendidikan mengenai lingkungannya. Lalu ia berbicara dengan pangeran cirebon untuk segera dibentuk 'Sekolah Ronggeng'. Pada dasarnya sekolah ronggeng adalah sekolah pertamakali yang memadukan sistem pendidikan barat dengan sistem pendidikan Timur dimana siswa didik dikenalkan pada lingkungannya dengan melek huruf, di sini berarti ada pertemuan antara ketercerahan jiwa dengan kertercerahan intelektual.
--Toto Rahardjo, Halaman: 39

Bila Daendels bisa dikatakan bapak pendidikan di Nusantara, mak Van Heuts bisa dikatakan bapak pembuka sistem pendidikan. Van Heutz adalah gubernur jenderal pada masa Hindia-Belanda, di masa dialah seluruh nusantara dijadikan satu jaringan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Setelah pidatonya yang terkenal di lapangan benteng 10 Mei 1907 tentang kesempurnaan geopolitik pendidikan rakyat, di sini van Heutz membentuk sistem sekolah desa, sebagai alat pencerdasan rakyat dan memberantas buta huruf, rakyat harus dikenalkan pada dunia baca dan dunia tulis sehingga pikirannya berkembang.
--Toto Rahardjo, Halaman: 40-41

Kesadaran nasional adalah inti dari pendidikan taman siswa, inti dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apabila sistem pendidikan nasional tak menghasilkan kesadaran nasional, kebanggan sebagai bangsa, kebanggan bahwa kita adalah bangsa yang mampu menumbangkan kebudayaan dunia, membentuk peradaban baru, maka jangan sekali-kali kalian menyatakan bapak pendidikan nasional kalian adalah Ki Hadjar Dewantara, tapi secara realitas memanglah bapak pendidikan nasional kalian adalah Daendels, karena Daendels membangun pendidikan sama sekali tanpa jiwa nasionalisme. Ia hanya ingin menyebarkan ilmu pengetahuan, sama seperti orang tua sekarang yang lebih bangga anaknya bisa bahasa Inggris di tempat-tempat umum ketimbang lancar berbahasa Indonesia.
--Toto Rahardjo, Halaman: 44-45

Kita tahu bahwa karakter adalah output, akibat dari sebuah lingkugan tata kehidupan sehari-hari.
--Toto Rahardjo, Halaman: 64-65

Sekolah tidak lagi menjadi tempat pengembangan bakat karena tujuan anak-didik bersekolah adalah untuk UN.
--BPA, Halaman: 65

Dehumanisasi yakni anak dari paham filsafat yang bertolak dari kehidupan nyata yang melahirkanpertanyaan; "mrngapa mayoritas manusia menderita, sementara ada pihak yang justru menikmati penderitaan orang lain?"."Mengapa ada pihak-pihak yang menikmati keuntungan dengan cara-cara yang tidak adil, pihak yang menikmati ini justru kelompok minoritas umat manusia?
--Toto Rahardjo, Halaman: 70-71

Membangun budaya masyarakat melalui sekolah alam, seperti pesta panen. Metode pembelajaran budaya masyarakat.
--BPA, Halaman: 76

Paling tidak ada empat karakter sekolah alternatif yang membedakannya dengan sekolah arus utama:
1. Filosofi yang mendasari praktik pedagoginya.
2. Berorientasi pada anak.
3. Pendekatan holistik dalam pembelajaran.
4. Terjalin hubungan yang demokratis antara guru, murid dan orangtua.
--Toto Rahardjo, Halaman: 88-90

Posting Komentar

0 Komentar