Kutipan Sarkawi B. Husain - Sejarah Sekolah Makassar

Di sini hanya berisi kutipan. Secuil dari seluruh isi buku. Jangan mudah silau oleh kutipan. Selami bukunya dan pahami sendiri makna tiap kalimatnya. Semoga kutipan dalam buku ini bisa memotivasi pembaca untuk membaca sendiri isi buku yang disajikan di sini. 
Selamat membaca.
☺️☺️☺️


Pidato Ratu Wihelmina pada september 1901 mengumandangkan bermulanya zaman baru yang disebut politik etis dengan trilogi kebijakan: edukasi, irigasi dan emigrasi.
--1

Birokrasi menurut Max Weber dibagi menjadi dua, yakni birokrasi patrimonial dan rasional. Birokrasi patrimonial memandang pemerintah pusat sebagai perluasan rumah tangga pribadi penguasa dan tidak ada pemisahan antara milik negara dan pribadi, sedang birokrasi rasional lebih menekankan aspek rasional dan efisiensi birokrasi untuk mencapai tujuan berdasarkan prinsip-prinsip pemisahan kepentingan pribadi dan dinas, lihat Reinhard Bendix, Max Weber, An Intellectual Portrait, New York: Ancor Books Doubleday and Company, Inc., 1962, hl. 334-337.
--Catatan kaki, 3

Intelektual frustasi (ciptakan teori)
--Tugas untuk Baso

Sekolah pertama didirikan di Makassar adalah Kweekschool pada tahun 1876. Kweekschool didirikan oleh seorang pendeta yang bernama Benjamin Frederick Matthes bersama kedua kawannya yang bernama L.W. Schmidt dan W.H. Bosman
--7

"Secara etimologis, istilah 'elite' berasal dari kata Latin, eligere yang berarti memilih. Dalam beberapa periode selanjutnya, istilah ini mengalami perluasan makna. Pada abad ke-14 misalnya, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan), sedang pada abad ke-18 dipakai dalam bahasa Prancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat."
--12

Selanjutnya proses muncul dan lahirnya seorang elite dapat dibedakan menjadi lima, yakni:
1. Kelompok elite yang muncul karena faktor sistem politik. Mereka menduduki posisi ini karena dukungannya kepada penguasa atau kepada sistem politik itu sendiri. Dengan demikian, mereka juga dapat disebutsebagai bagian dari mekanisme politik yang sedang berlaku di negara itu.
2. Kelompok elite yang muncul karena faktor pendidikan formal. Kelompok elite ini ditentukan oleh reputasi atau kualitas manusianya sendiri.
3. Kelompok elite yang muncul karena faktor geneologis yang didukung langsung oleh sistem sosial budaya dari masyarakat. Patokannya adalah garis keturunan "kebangsawanan". Tipe ini tidak saja ada dalam masyarakat yang masih feodal, tapi adakalanya juga masih terdapat di dalam masyarakat yang menyebut dirinya demokratis.
4. Kelompok elite yang muncul karena faktor "reputasi sosial" dengan kombinasi pengalaman dan pengetahuan agama. Kelompok ini memiliki kharisma dan kewibawaan yang berakar di masyarakat.
5. Kelompok elite yang muncul karena faktor kekayaan yang dimilikinya, termasuk kekayaan keluarganya. Mereka berpengaruh di masyarakat atas dasar peran ekonominya terhadap kehidupan masyarakat. Adakalanya karena kekuatan ekonominya memiliki pengaruh yang besar dalam politik.
--14-15

Pelapisan sosial yang dikenal dalam masyarakat Makassar adalah Anakaraeng, Tu-Maradeka, dan Ata.
1. Anakaraeng:
•ana ti'no: ana pattola & ana manrapi
•ana sipue: ana sipue manrapi & ana sipue
•ana cera
•ana karaeng sala
2. Tumaradeka
•tubaji
•tusamara
3. Ata
•ata sossorang
•ata nibuang
--25-28

Intenssnya Islam di Makassar bermula ketika sultan Ternate, Baabullah berkunjung ke Makassar pada tahun 1565. Antara Sultan Ternate dengan kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Tunijallo, raja Gowa ke XXI (1565-1590), menyepakati suatu perjanjian tentang penyerahan kembali pulau Selayar, yang semula di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate, menjadi di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa. Pada masa itulah didirikan masjid di Mangalakkana yang diperuntukkan bagi pedagang Muslim yang bermukim di kota Makassar.
--28

Pada masa pemerintahan raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia (1592-1639), Islam resmi dijadikan sebagai agama kerajaan. Proses peng-Islaman bermula ketika tiga orang mubalig yang biasa disebut Dato' Tallua (Makassar) atau Dato' Tellue (Bugis), tiba di Sulawesi Selatan. Mereka berasal dari Kota Tengah (Sumatera Barat), dikenal dengan nama Dato' Ribandang atau Abdul Makmur atau dikenal sebagai Khatib Tunggal, Dato' ri Patimang atau Sulaiman yang dikenal pula sebagai Khatib Sulung dan Dato' ri Tiro atau Abdul Jawad atau dikenal pula sebagai Khatib Bungsu. Menurut beberapa sumber, sebelum menyebarkan Islam di Gowa, ketiga ulama ini datang ke Luwu. Raja Luwu pada waktu itu menerima baik ketiga ulama ini dan mengucapkan syahadat pada tanggal 15 atau 18 Ramadhan 1015 H (4 atau 5 Februari 1603 M). Raja Luwu bersedia membantu menyebarkan Islam ke kerajaan Bugis lainnya akan tetapi menganjurkan kepada ketia ulama ini agar memulai penyebaran Islam lewat Gowa karena kekuatan dan supremasi politik di Sulawesi Selatan berada di tangan Kerajaan Gowa.
--29-30

atas usaha ketiga ulama ini, pada tahun 1605 kerajaan kembar Gowa dan Tallo berhasil diislamkan. Raja pertama masuk yang masuk Islan ketika itu adalah raja Tallo I Mallingkang Daeng Manyonri dan diberi gelar  Sultan Abdullah Awalul Islam. Beberapa saat kemudian raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manrabia juga memeluk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin. Berselang dua tahun tepatnya tanggal 9 November 1607, Islam resmi dianut sebagai agama kerajaan yang ditandai dengan shalat Jumat pertama di Tallo. Pada saat itu Makassar menjadi pusat penyebaran Islam do Sulawesi Selatan.
--31

Pendidikan yang diutamakan pada zaman HinduBudha adalah pendidikan keagamaan, pemerintahan, strategi perang, serta ilmu kekebalan, kemahiran menunggang kuda dan memainkan senjata tajam. (Pendidikan Tradisional)
--38

Volkschool (Sekolah Desa) masa belajar tiga tahun
Vervolgschool (Sekolah lanjutan) masa belajat dua atau tiga tahun
Sekolah penghubung (1921), sekolah ini sebagai peralihan dari sekolah desa ke sekolah dasar, masa belajar lima tahun.
Midelbaar Ondewijs (Pendidikan menengah atau pendidikan lanjutan)
MULO, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Sekolah lanjutan tingkat pertama, 1914)
AMS, Algemeene Middlebaar School (Sekolah menengah umum, 1919)
--57

1. Sekolah Pertukangan (Ambachts Leergang) dengan bahasa daerah sebagai pengantar. Sekolah ini menerima lulusan sekolah bumiputera Kelas Dua (5 tahun) atau sekolah lanjutan (Vervolgschool). Sekolah yang bertujuan untuk mendidik tukang ini semula berasal dari sekolah pekerjaan tangan (Handwerkschool) dan sekolah kerajinan tangan (Nijver-heidschool) yang pertama-tama didirikan pada tahun 1881.
2. Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool) dengan pengantar bahasa Belanda. Sekolah yang memiliki masa belajar tiga tahun dan menerima lulusan HIS, HCS atau Scahkelschool ini bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor (werkbaas)
3. Sekolah Teknik (Technisch Onderwijs) merupakan lanjutan dari Ambachtsschool. Sekolah ini berbahasa pengantar Belanda dan memiliki masa belajar tiga tahun. Tujuan sekolah ini adalah mendidik tenaga-tenaga Indonesia (bumiputera) untuk menjadi pengawas (opzichter) semacam tenaga Teknik menengah di bawah insinyur.
4. Sekolah Dagang (Handel Onderwijs), bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
5. Sekolah Pertanian (Landbouw Onderwijs). Sekolah ini didirikan pada tahun 1903 dan menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa pengantar Belanda. Tujuan sekolah yang memiliki masa belajar tiga sampai empat tahun ini adalah mendidik pegawai-pegawai pertanian dan kehutanan.
6. Sekolah Kejuruan Wanita (Meisjes Vakonderwijs) Lama belajar sekolah ini tiga tahun dan menerima lulusan HIS, HCS dan Schakelschool.
7. Sekolah Guru (Kweekschool) Sekolah ini merupakan lembaga tertua yang sudah ada sejak permulaan abad ke-19.
--58-59.

Nasionalisme adalah sebuah doktrin politik, perasaan atau pikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat sebaiknya diorganisasikan dalam bentuk negara-bangsa (nation-state) dan negara-bangsa akan mebjadi titik sentral dari loyalitaa individu dan kelompok.
--Catatan kaki, 88, lihat Harry Riter, Dictionary of conscepts in history,.

Carlton J. H. Hayes melukiskan lima bentuk dasar nasionalisme yang menyebar dalam berbagai variasi di dunia sejak abad kedelapan belas. Kelima bentuk dasar itu, masing-masing:
1. Nasionalisme Humanitarian,
2. Nasionalisme Jacobin,
3. Nasionalisme Tradisional,
4. Nasionalisme Liberal, dan
5. Nasionalisme Integral
--catatan kaki, 88-89

------
Judul: Sejarah Sekolah Makassar
Penulis: Sarkawi B. Husain
Penerbit: Ininnawa
Halaman (Isi) : 174
ISBN: 978-602-71651-2-0

Studi ini membicarakan tentang pendidikan kolonial di Makassar pada abad ke-19 sampai dasawarsa keempat abad ke-20. Berdasarkan pokok-pokok persoalan yang telah dirumuskan dalam pendahuluan dan uraian pada bab-bab selanjutnya terdapat tiga simpulan yang dapat ditarik.

Pertama, sebelum masuknya pendidikan kolonial, di Makassar telah tumbuh dan berkembang dengan baik pendidikan tradisional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dikenalnya aksara tradisional yang disebut dengan huruf Ogi-Mangkasa atau yang disebut dengan huruf lontara dan serang. Tradisi literer dengan menggunakan huruf lontara yang mengalami perkembangan pesat pada abad ke-17 semakin mantap ketika Islam dianut oleh masyarakat pada abad ke-17. Sumbangan Islam terhadap perkembangan pendidikan tradisional ini dapat dilihat dari berkembangnya tradisi mangngaji (mengaji) dan banyaknya buku-buku agama Islam dari Bahasa Melayu yang disalin ke dalam bahasa Makassar dengan menggunakan huruf lontara.

Kedua, proses masuknya pendidikan kolonial di Makassar diawali dengan usaha Benjamin Frederick Matthes yang pada tahun 1876 mendirikan Kweekschool. Sejak saat itu sampai dasawarsa keempat abad ke-20, pendidikan kolonial di Makassar mengalami perkembangan yang cukup berarti, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis.

Perkembangan tersebut juga merupakan konsekuensi dari pemantapan hegemoni pemerintah kolonial terhadap daerah Sulawesi Selatan yang disebutnya sebagai 'een land van onrust' (daerah yang penuh kekacauan) pada awal abad ke-20. Pemantapan hegemoni dilakukan antara lain dengan pelaksanaan administrasi atau birokrasi yang modern yang bercorak Barat. Sistem tradisional dalam pemerintahan mulai digeser dan digantikan dengan sistem modern ciptaan Belanda. Konsekuensinya adalah tampilnya pendidikan sebagai ukuran untuk menduduki jabatan-jabatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Pendidikan yang dikembangkan pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan dari tujuan politiknya dalam usaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Hal tersebut tampak dengan penerapan sistem pendidikan yang berporos pada prinsip-prinsip warna (color line) diskriminasi, segregasi, dan non-akulturatif. Sistem pendidikan inilah yang juga dikembangkan di Makassar, sehingga muncul lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai jenis dan tingkatan yang dapat dibagi tiga. Pertama, pendidikan dasar masing-masing ELS, HCS dan HIS (bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar) . Selanjutnya terdapat satu sekolah peralihan atau sekolah penghubung yang disebut Schakelschool. Untuk memberikan pendidikan bagi orang-orang Ambon yang banyak berdiam di Makassar (sejumlah pasukan Belanda terdiri atas orang-orang Ambon) didirikan pula sekolah khusus untuk mereka. Kedua, pendidikan lanjutan, yakni MULO. Sekolah ini merupakan sekolah dasar yang diperluas. Sekolah yang didirikan pada tahun 1914 ini merupakan lanjutan dari sekolah dasar berbahasa pengantar Belanda. Ketiga, pendidikan kejuruan, masing-masing Kweekschool, OSVIA, Ambachtschool, Landbouwschool, dan Zeevaartschool. Sekolah yang terakhir tidak berada di bawah departemen pendidikan, Agama dan Kerajinan, tetapi dibawah departemen Kelautan (Departemen van Marine).

Ketiga, dalam banyak hal kehadiran pendidikan kolonial di Makassar tidak hanya bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan akan tenaga birokrasi pemerintahan, namun juga lebih jauh membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam masyarakat. Pemgaruh tersebut setidaknya dapat dilihat pada tiga hal, yakni terhadap munculnya berbagai organisasi sosial keagamaan dan pergerakan, perkembangan pers, dan terbentuknya elite baru.

Di Makassar, mereka yang terlihat dalam berbagai organisasi dan pers banyak berasal dari sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial seperti OSVIA dan MULO. Mereka bersama tokoh-tokoh lain dari pendidikan swasta seperti Muhammadiyah, memelopori lahirnya berbagai organisasi, baik yang berpusat di Jawa, maupun organisasi lokal. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan terdapatnya interaksi antara mereka yang aktif di sekolah milik pemerintah dengan mereka di sekolah swasta.

Selain dalam pergerakan nasional dan pers, pendidikan kolonial juga memberikan kontribusi bagi terjadinya mobilitas sosial yang antara lain ditandai dengan terbentuknya elite baru. Mereka ini umumnya berasal dari keluarga bangsawan, yang karena keturunannya berhak mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah yang dipersiapkan oleh pemerintah untuk mencetak para pegawai pribumi. Pareto menyebut kelompok ini sebagai 'a governing elite'. Berbeda dengan elite yang mucul karena faktor keturunan dan pendidikan yang mereka terima, di Makassar juga terdapat kelompok elite yang muncul karena memiliki pengetahuan agama dan aktif pada berbagai organisasi sosial keagamaan dan pergerakan. Pareto menyebut kelompok ini sebagai 'a non governing elite'.

Akan tetapi, fenomena historis di Makassar menunjukkan tidak dapatnya diterapkan secara kaku klasifikasi elite yang dikemukakan Pareto. Hal tersebut disebabkan terdapatnya banyak elite dari kelompok bangsawan yang juga aktif dalam berbagai organisasi pergerakan maupun organisasi sosial keagamaan.

Posting Komentar

0 Komentar